Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Responsive Advertisement

Candi Kidal Peninggalan Anusapati

Malang - Terletak di desa Rejokidal, sekitar 20 km sebelah timur kota Malang, candi Kidal berdiri dengan tegak dan kokoh serta tampak keindahannya. Candi Kidal memiliki beberapa kelebihan menarik dibanding candi-candi di Jawa Timur.

Candi Kidal dikelilingi pohon-pohon besar dan rindang. Suasana asri dan aroma mistis akan tercium saat kaki menginjak halaman candi yang lausnya 21 x 22 meter dan tertata apik. Pengunjung pun akan mendapatkan pesan moral yang terpahat pada kaki candi.

Menurut catatan sejarah, candi Kidal dibangun pada 1248 M, bertepatan dengan berakhirnya upacara pemakaman Cradha untuk raja Anusapati, dan selesai pada 1260 M. Candi ini selesai dipugar pada tahun 90-an. Letaknya memang cukup jauh di pedesaan, namun mudah dikunjungi melalui jalan darat yang mulus.

Candi Kidal terbuat dari batu andesit dan berdimensi geometris vertikal. Bangunan kaki candi membentuk bujungsangkar nampak agak tinggi dengan anak tangga kecil-kecil. Ukuran tubuh candi lebih kecil dibandingkan luas kaki serta atap candi sehingga terlihat ramping. Pada kaki dan tubuh candi terdapat hiasan medalion.

Atap candi terdiri atas 3 bagian dengan bagian paling atas mempunyai permukaan cukup luas tanpa hiasan atap seperti ratna atau stupa. Masing-masing lapisan disisakan ruang agak luas dan diberi hiasan. Konon, pada awal pembuatannya, tiap pojok lapisan atap candi ditempatkan berlian kecil.

Candi Kidal dilengkapi dengan hiasan kepala raksasa yang nampak menyeramkan dengan matanya melotot penuh. Mulutnya terbuka dan nampak 2 taringnya yang besar dan bengkok memberi kesan dominan.

Adanya 2 taring tersebut juga merupakan ciri khas candi corak Jawa Timuran. Di sudut kiri dan kanan terdapat jari tangan yang siap menerkam. Relief raksasa tersebut dimaksudkan sebagai penjaga bangunan suci candi Kidal.

Menurut catatan sejarah, candi Kidal merupakan candi paling tua dari peninggalan candi-candi di Jawa Timur. Hal ini karena periode Airlangga (11-12 M) dan Kediri (12-13 M) tidak meninggalkan sebuah candi, kecuali candi Belahan dan Jolotundo yang sesungguhnya bukan merupakan candi melainkan pentirtaan (pemandian).

Ciri khas candi ini adalah adanya narasi cerita Garuda terlengkap yang terpahat pada kaki candi. Cara membacanya dengan berjalan berlawanan arah jarum jam, dimulai dari sisi sebelah selatan. Relief pertama menggambarkan Garuda menggendong 3 ekor ular besar, relief kedua melukiskan Garuda dengan kendi di atas kepalanya, dan relief ketiga Garuda meyangga seorang wanita di atasnya.

Di antara ketiga relief tersebut, relief kedua adalah yang paling indah dan masih utuh. Menurut kesusasteraan Jawa Kuno, Garudeya, ketiga relief tersebut menggambarkan perjalanan Garuda dalam membebaskan ibunya dari perbudakan dengan penebusan air suci “amerta”.

Cerita Garuda itu mengandung pesan moral dan legenda. Dalam filosofi Jawa, candi juga berfungsi sebagai tempat ruwatan raja yang telah meninggal supaya kembali suci dan dapat menitis kembali menjadi dewa. Ide ini berkaitan erat dengan konsep "Dewa-Raja" yang berkembang kuat di Jawa saat itu.

Berkaitan dengan prinsip tersebut, dan sesuai dengan kitab Negarakretagama, maka candi Kidal merupakan tempat di-ruwat-nya raja Anusapati –anaknya Kendedes bersama Tunggul Ametung-- dan dimuliakan sebagai Siwa. Namun sayangnya, sebuah patung Siwa yang indah dan diduga kuat berasal dari candi Kidal sampai sekarang masih tersimpan di museum Leiden-Belanda.

Konon, Anusapati sangat berbakti dan mencintai ibunya. Dia ingin ibunya lepas dari penderitaan dan nestapa salama hidupnya, menjadi suci kembali dan wanita sempurna. Relief Garudeya pada candi Kidal mengambarkan bakti Anusapati kepada ibunya Kendedes yang cantik jelita namun nestapa hidupnya.

Candi Kidal agaknya layak masuk dalam agenda wisata Anda. Lokasinya di pedesaan yang menyimpan banyak keaslian alam dan budaya. Relief Garuda yang terpahat di kaki candi memberi pesan moral yang patut diteladani.

Bila diterjemahkan dalam kehidupan sekarang, pesan moral tersebut tampaknya masih aktual: bakti seorang anak kepada orang tua –terlebih lagi kepada ibu yang melahirkan— tak akan lekang dan lapuk oleh waktu.

Apalagi dalam kondisi bangsa Indonesia yang tengah dilanda krisis multidimensi, pesan moral tersebut seakan memberi kekuatan pada kita untuk menjunjung hal-hal baik yang pernah diajarkan sejak masa lalu.

Posting Komentar

0 Komentar