Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Responsive Advertisement

Tabrak Konvensi PBB Pemberian Grasi Kepada Corby

JAKARTA - Pemberian grasi kepada terpidana narkoba bertabrakan dengan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Undang-Undang Narkotika.

Karena itu keputusan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberikan grasi kepada terpidana narkoba asal Australia, Schapelle Corby, perlu dipertimbangkan kembali.

Ahli hukum pidana dari Universitas Padjadjaran, Bandung, Romli Atmasasmita mengingatkan, Indonesia sudah meratifikasi Konvensi PBB tentang Pemberantasan Gelap Narkotika dan Psikotropika, 1988. Konvensi itu ditindaklanjuti dengan pembentukan Undang-Undang Narkotika.

"Seluruh negara di dunia sepakat bahwa kejahatan narkotika dan psikotropika merupakan kejahatan berat dan bersifat internasional sehingga pelakunya tidak perlu diberi grasi," katanya, Minggu (27/5).

Jadi, jika kemudian Indonesia memberikan keringanan hukuman berupa grasi kepada seorang terpidana narkoba seperti Corby, menurut Romli, sikap itu tidak konsisten. "Di muka bumi ini hanya Indonesia yang memberi grasi, yang ada ekstradisi," lanjutnya.

Ketua Badan Pengurus Setara Institute Hendardi menilai pemberian grasi itu menunjukkan pemerintah mandul di hadapan pemerintah Australia.

"Kalau satu saja bandit mariyuana mampu jadi komoditas kompromi G to G untuk alasan yang 'tidak transparan', tak mengherankan jika koruptor merasa aman tenteram di negeri serba kompromi ini," katanya.

Tidak hanya itu, Hendardi juga menambahkan jika peristiwa seperti ini tidak hanya menyoroti betapa buruknya pemerintah negara Indonesia yang sangat berbalik dengan pemerintah Australia dalam melindungi setiap warga negara mereka yang tersandung masalah hukum di negeri lain.

"Jelas, ini sangat bertolak belakang dengan pembelaan Pemerintah RI atas berbagai kasus yang menimpa WNI di luar negeri.

Utamanya kasus yang dialami para TKI/TKW Indonesia," kata dia seraya menyebut sikap pemerintah tidak proporsional.

Posting Komentar

0 Komentar